Clay dan Surat Dari Eduardo - Part 1

 


Seorang gadis menemukan sebuah brankas kuno di dalam lemari. Rasa penasaran menggerogoti dirinya. Brankas tersebut mempunyai kode-kode rumit untuk membukanya. “Clay, apa yang kau lakukan di kamar Eduardo? Aku mencarimu kemana-mana.” Rosetta mendelik ke arah Clay. “Bibi, aku menemukan brankas kakek, aku hanya penasaran apa isinya,” ujar Clay. Rosetta kelihatan bingung lalu mendekati Clay, memperhatikan brankas tersebut dan kembali menyimpannya di dalam lemari. Clay selalu ingin tahu banyak hal, dan itu sedikit merepotkan sekaligus menyenangkan. “Belum saatnya kau tahu Clay, ayo turun aku telah memasak untukmu kita makan siang.” Rosetta kembali menutup lemari kayu tersebut. Clay menghela nafas, pasrah dan mengubur rasa penasarannya untuk sesaat.

“Berkas perpindahan sekolahmu telah aku urus semuanya Clay, aku harap kau akan nyaman di sekolah barumu,” ucap Rosetta sambil mengupas buah Pir. Clay hanya menunduk, terdiam sesaat. Semenjak kepergian Eduardo, hanya ada dirinya dan sang bibi. Sekarang mereka berada di kampung halaman Eduardo, yang sangat jauh dari perkotaan. Sedihnya, Clay harus menuruti perintah Rosetta untuk pindah sekolah. “Clay! Kau tidak akan membantahku kan?” Rosetta mendelik kea rah Clay. Sebenarnya Rosetta sangat menyayangi Clay, ia menjaga Clay semenjak Violetta dan Daniel - orangtua Clay kecelakaan enam bulan yang lalu. Hanya Rosetta yang mau menampung Clay, saudaranya yang lain memilih untuk lepas tanggung jawab. Alasannya, Rosetta-lah yang tidak mempunyai anak dan telah bercerai dari suaminya dua tahun yang lalu. “Aku harap sekolah disini tidak buruk, ya mau bagaimana lagi.” Clay menghembuskan nafasnya berat. Mau tidak mau Clay harus menjalaninya, walaupun jauh dalam lubuk hatinya, Clay tidak ingin pindah.

***

Udara pagi berhembus dengan sejuk, Clay menusuri jalan yang dipenuhi oleh pohon ek. Sekolah barunya lumayan dekat dari rumah. Arsitekturnya juga menarik, lebih tepatnya bagunannya tampak seperti sekolah kerajaan kuno. Clay buru-buru masuk ke kelas, ketika mendengar lonceng besar berbunyi. Walaupun sekolah baru Clay terletak di area pedesaan, namun sekolah tersebut termasuk sekolah yang mempunyai banyak prestasi dan terkenal melahirkan murid-murid yang jenius.

“Hai, apa kau murid baru?” Murid perempuan dengan rambut pirang menyapa Clay. “I-iyaa aku murid baru disini,” ujar Clay gugup. “Haa sudah kuduga, aku baru pertama kali melihatmu. Perkenalkan aku Ami, sebagai sekretaris kelas 11, jangan gugup, aku harap kita bisa berteman,” ucap Ami mengulurkan tangannya. “Aku Clay, Clay Eduardo… salam kenal,” ujar Clay. “Astaga, kau cucunya Eduardo? Eduardo sangat terkenal di desa ini karena beliau orang yang jenius, aku sangat mengidolakan kakekmu!” seru Ami. Clay hanya tersenyum dan mengangguk. Clay sedikit menyesal mengatakan nama lengkapnya. Menjadi cucu dari sang jenius tentu memiliki beban tersendiri, walaupun Clay juga termasuk jenius. Sudah banyak kompetisi yang diikuti oleh Clay dan selalu memperoleh gelar juara, namun Clay tidak pernah membanggakan hal tersebut. Menurutnya mengikuti kompetisi hanyalah untuk menguji seberapa jauh dirinya sudah belajar dan menyerap ilmu selama ini.

Tak lama kemudian segerombolan murid laki-laki masuk ke dalam kelas. Mereka tampak terburu-buru. Mereka berjumlah enam orang yang sama-sama melirik Clay, lalu laki-laki berambut coklat terang mendekat, sedangkan teman-temannya yang lain menunggu di belakang, seperti menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. “Wah, kelas kita kedatangan anak baru? Menarik,” seringainya, seakan-akan mendapatkan mainan baru. Ami berdiri, lalu memasang badan. “Berhati-hatilah Reynold, namanya adalah Clay Eduardo. Tidak perlu ku perjelas siapa dia bukan? Sekarang silahkan duduk, biar nanti Miss Clara yang memperkenalkannya secara resmi.” Reynold tertegun, lalu memandang Clay untuk waktu yang cukup lama, sedangkan Clay tampak tak peduli dan merasa enggan untuk menatap balik. “Baiklah, kau memang cucu dari idolaku Clay, tapi aku tidak akan kalah darimu.” Saat itu juga Clay menatap Reynold tepat dimatanya. Clay tak habis pikir, baru saja hari pertama masuk sekolah, dirinya sudah mengalami ini. “Aku tidak pernah berpikir untuk bersaing dengan siapa pun, dan terima kasih telah mengidolakan kakekku.” Tanggapan Clay yang santai membuat Ami tertawa cekikikan, karena baru pertama kali melihat Reynold mati kutu. Diam-diam Clay tersenyum menang saat Reynold duduk di bangkunya dengan muka kesal. Sekolah ini boleh juga, pikir Clay.

***

Semenjak perkenalan singkat Clay dan Reynold yang kurang menyenangkan, satu sekolah menjadi tahu bahwa Clay merupakan cucu dari Eduardo “si jenius” dan Reynold merasa terancam sebagai murid terbaik di sekolah. Keduanya sama-sama mengobarkan api ketika bertatapan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menurunkan Ekspektasi

Sapa Kembali Pada Bulan