Aku
tidak tahu bagaimana menceritakan ini semua, yang jelas aku selalu bertengger
di dinding kamar gadis itu, mengamati tumbuh kembangnya. Dia gadis yang unik.
Namun akhir-akhir ini sering menangis sendirian. Memeluk gulingnya sambil
tersedu-sedu. Ia kerap kali berbicara kepada bulan. Bahwa ia mendapatkan bully-an
dari teman-temannya. Aku hanyalah pendengar dan pengamat setia.
Pukul tujuh pagi, gadis itu tidak
bersiap-siap pergi ke sekolah seperti biasa. Ia duduk lemas di tempat tidur
sambil memainkan ponselnya. Melihat berbagai komentar di media sosialnya.
Merasa kesal setiap kali ada komentar yang buruk, seperti mengatakan bahwa
gadis itu tidak cukup cantik, tubunya yang tidak ideal. Sungguh kejam media
sosial. Aku yang hanya berdiam dalam setiap detikku terenyuh. Melihatnya tumbuh
dewasa, namun gadisku telah kehilangan dirinya sendiri. Aku bersumpah dia
adalah gadis yang sangat cantik dan menarik. Tetapi sepertinya diluar sana
terdapat standar-standar yang entah diciptakan siapa. Standar yang telah
membuat gadisku insecure.
Ibu masuk ke dalam kamar dengan
heran, sembari mungkin bertanya; mengapa gadisku itu tidak bersiap-siap
berangkat ke sekolah. Ibu mengingatkan agar segera bersiap-siap. Gadisku mau
tidak mau masuk ke kamar mandi. Setelah selesai mandi ia bersiap-siap. Memoles
bedak tipis. Dia tampak cantik natural. Lalu ia memasukkan beberapa buku ke
dalam tas, dapat kulihat itu adalah buku matematika dan beberapa buku tulis.
Dan selanjutnya gadisku keluar kamar dengan tergesa-gesa.
Sekitar Pukul satu siang gadisku
pulang, membuka pintu kamar berasama langkah kaki lain. Seorang gadis yang juga
seumuran. Gadisku mengganti bajunya, sedangkan
temannya itu duduk di atas tempat tidur sambil memainkan ponsel. Setelah
itu mereka mengobrol. “Maya, kamu masih memikirkan perkataan teman-teman tadi?”
tanya teman gadisku itu. “Iya Bi … aku merasa apa yang dikatakan mereka
tentangku itu benar …,” jawab gadisku lemah. Mereka mengobrol tentang gadisku; Maya
yang kembali mendapatkan bullyan di sekolah. Dan temannya yang kuketahui
namanya Bianca mencoba menguatkan gadisku itu. Hanya sekali ini saja gadisku
membawa teman ke rumah.
Sore harinya, gadisku melihat ponsel
agak lama daripada biasanya. Kali ini dia tidak menangis. Akan tetapi tatapan
matanya terlihat nanar. Lalu ia menelpon salah satu temannya. “Halo … Bi …, aku
dibuli lagi sama yang lain …,” ucap gadisku lemah. Sungguh gadisku tidak
percaya diri. Setelah berbincang di telepon Bianca datang ke rumah. Mencoba
menenangkan gadisku. Lagi. Seperti biasa, Bianca akan memberikan nasihatnya.
Namun kali ini gadisku tampak hanya diam. Entah apa yang dipikirkannya. Nasihat
yang diberikan Bianca sepertinya kali ini tidak mempan.
Pukul delapan malam, gadisku tampak
berpikir demikian lama sambil memainkan ponsel. Ia tersenyum sejenak. Lalu ia
mengenakan pakaian yang tidak seperti biasanya. Pakaiannya yang terbuka
menampilkan lekuk badannya. Aneh sekali tidak seperti biasanya. Bahkan gadisku
kali ini juga mengenakan sepatu hak tinggi, sekitar sepuluh senti. Ia juga
memakai parfum kali ini. Sangat wangi. Rambutnya dibiarkan tergerai indah. Ia
pergi, mengendap-endap seperti tidak mau ketahuan. Menutup pintu dengan pelan.
Tinggallah aku dengan hati yang was-was.
Rasa percaya diri gadisku memang
mengalami krisis, namun aku sangat heran kenapa dengannya malam ini. Teringat aku waktu itu umurnya delapan tahun. Tepat
pada hari ulang tahunnya, gadisku mendapatkan banyak kado. Dan ucapan selamat
dari teman-temannya. Ia membuka satu persatu kadonya dengan bahagia. Ayah dan
ibunya pun turut memberikan kado. Sebuah boneka yang sangat besar. Hingga saat
ini boneka itu masih disimpan gadisku. Aku juga ingat saat ia pertama kali
mendapatkan nilai sempurna di sekolah. Ia melompat-lompat kegirangan. Setiap
malam ia tambah bersemangat dalam belajar. Saat itu ia berkata “Aku Maya, anak
yang pintar, cantik dan akan membanggakan mama dan papa.” Masih kuingat dengan
jelas, wahai gadisku.
Yah,
semuanya berubah ketika gadisku memasuki Sekolah Menengah Atas. Ia bersekolah
di tempat yang bisa dibilang elit. Saat ia tahu diterima disana, ia juga
kelihatan bahagia. Namun semuanya mulai
berubah semenjak seminggu ia bersekolah. Aku hanya pengamat di dalam kamarnya,
dan masih bertengger di atas dinding.
Sudah
pukul sembilan malam, gadisku itu belum juga pulang. Ibunya memang baru pulang
kerja kalau jam sembilan malam. Seperti biasa ia akan mengecek keadaan anaknya
ke dalam kamar. Kali ini anaknya tidak kelihatan. “Maya … kamu kemana?” tanya
Ibu sambil mencari ke kamar mandi dan berbagai tempat di rumah. Ibu pun segera
menelepon Ayah. “Ayah …, Maya tidak ada di rumah, dan dia tidak ada
meninggalkan kabar apapun,” ucap ibu mulai panik. Setelah itu ibu duduk
sebentar di atas kasur gadisku. Dan ia pun menelepon Bianca, yang biasa ke
rumah. “Halo, Bi … kamu tahu dimana Maya?” tanya ibu dengan raut kecemasan. Aku
melihat ekspresi ibu kecewa, yang artinya Bianca tidak tahu kemana Gadisku itu.
Lima
belas menit kemudian, Ayah pulang. “Maya hilang buk? Kemana perginya anak kita?”
tanya Ayah tampak frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Aku pun turut
mempertanyakan hal yang sama. Ingin aku bisa berbicara dan menanyakan secara
langsung dari tadi kepada gadisku. Namun aku hanyalah detik-detik yang hadir
dalam hidupnya dan belum berpindah dari kamarnya. Akhirnya Ayah dan Ibu
memutuskan menelepon polisi. Akan tetapi laporannya bisa diproses jika yang
hilang tersebut sudah 24 jam. Ayah dan Ibu akhirnya pergi mencari gadisku
kemana saja disudut kota ini. Disebabkan juga gadisku tidak menjawab telepon.
Tepat
pukul sepuluh malam, Ayah dan Ibu kembali lagi ke rumah. Mereka hanya bisa
menunggu anaknya pulang. Ayah mondar mandir sangat gelisa. Begitu pun dengan
Ibu yang menangis tersedu-sedu.
Hari
semakin larut, sudah satu jam berlalu, namun Gadisku tidak kunjung pulang. Aku
berdetak dalam kegelisahan yang sangat. Ibu yang sudah sedikit tenang,
membuatkan Ayah secangkir teh. Ayah meminumnya dan melihat Ibu dalam diam. “Bu
… apakah Maya sudah terpengaruh dengan hal-hal yang negatif?” tanya Ayah dengan
serius. “Tidak mungkin yaaah …, Maya anak yang percaya diri,” sela Ibu cepat.
“Ayah khawatir, kalau anak kita tidak percaya diri dan telah diracuni oleh
media sosial …,” ucap Ayah. Disaat itu
Ibu hanya bisa terdiam. Ia sadar kalau setiap kali anaknya melihat Ponsel, maka
ekspresinya akan berubah. Lalu ibu terpikirkan kembali untuk menelpon Bianca
untuk menanyakan beberapa hal. “halo Bi … maaf tante mau bertanya, Apakah Maya
mengalami masalah dalam minggu ini?” tanya Ibu langsung pada intinya. Lalu di seberang
telepon sana dapat kudengar dengan jelas bahwa Bianca menjelaskan Maya dibully
oleh teman-temannya, yang membuat Maya tidak percaya diri. Ibu hanya bisa
terngagah mendengar penjelasan dari Bianca. Merasa bersalah juga tidak mengetahui
dari Maya secara langsung.
Pukul
dua belas malam Ayah dan Ibu belum juga tidur, mereka menunggu Gadisku itu di
dalam kamar. Tiba-tiba sebuah telepon masuk dari nomor yang tidak dikenal.
“Halo …, Apakah benar ini orangtuanya Maya Anggraini?” tanya seseorang
diseberang sana. Ibu membenarkan hal tersebut dan bertanya lebih lanjut. “Ini
Ibu Maya pak… bapak tau anak saya dimana?” tanya Ibu mencoba menguatka diri.
“Anak ibuk kami temukan pingsan di dekat club malam” ucap orang itu. Dunia ibu
runtuh seketika, begitu pula Ayah. Pada pukul dua belas malam, gadisku
merenggut nyawa. Dibunuh dengan kejam.
Tiga
hari berlalu setelah kematian anaknya, Ibu mencoba memeriksa handphone gadisku
itu. Disana ternyata ada yang mengirim pesan, sudah tiga hari, photo profilnya
terpampang lelaki yang sangat tampan, satu pesan terakhirnya “Jika ingin populer
dan sangat cantik, datang ke tempat saya, dan jangan lupa dandan yang terbaik.”
Yaah gadisku yang mengalami krisis kepercayaan diri dan terlalu berharap kepada
orang lain telah datang kesana. Tanpa berpikir dua kali.
Kini tidak ada lagi seorang
gadis yang menangis dan berbicara kepada bulan setiap malam. Setiap detak
detikku mendadak terasa tiada arti. Detik menjadi menit, menit menjadi jam, jam
menjadi hari. Aku telah menjelma menjadi jam tua yang juga telah diberi harapan
palsu oleh manusia. Terngiang saat itu gadisku yang berumur duabelas tahun
berucap “Aku akan tumbuh baik seiring berjalannya waktu.”
Komentar
Posting Komentar