Translate

Sabtu, 06 Maret 2021

Sebuah Jam Yang Kehilangan Arti Untuk Berdetak


Aku tidak tahu bagaimana menceritakan ini semua, yang jelas aku selalu bertengger di dinding kamar gadis itu, mengamati tumbuh kembangnya. Dia gadis yang unik. Namun akhir-akhir ini sering menangis sendirian. Memeluk gulingnya sambil tersedu-sedu. Ia kerap kali berbicara kepada bulan. Bahwa ia mendapatkan bully-an dari teman-temannya. Aku hanyalah pendengar dan pengamat setia.

            Pukul tujuh pagi, gadis itu tidak bersiap-siap pergi ke sekolah seperti biasa. Ia duduk lemas di tempat tidur sambil memainkan ponselnya. Melihat berbagai komentar di media sosialnya. Merasa kesal setiap kali ada komentar yang buruk, seperti mengatakan bahwa gadis itu tidak cukup cantik, tubunya yang tidak ideal. Sungguh kejam media sosial. Aku yang hanya berdiam dalam setiap detikku terenyuh. Melihatnya tumbuh dewasa, namun gadisku telah kehilangan dirinya sendiri. Aku bersumpah dia adalah gadis yang sangat cantik dan menarik. Tetapi sepertinya diluar sana terdapat standar-standar yang entah diciptakan siapa. Standar yang telah membuat gadisku insecure.

            Ibu masuk ke dalam kamar dengan heran, sembari mungkin bertanya; mengapa gadisku itu tidak bersiap-siap berangkat ke sekolah. Ibu mengingatkan agar segera bersiap-siap. Gadisku mau tidak mau masuk ke kamar mandi. Setelah selesai mandi ia bersiap-siap. Memoles bedak tipis. Dia tampak cantik natural. Lalu ia memasukkan beberapa buku ke dalam tas, dapat kulihat itu adalah buku matematika dan beberapa buku tulis. Dan selanjutnya gadisku keluar kamar dengan tergesa-gesa.

            Sekitar Pukul satu siang gadisku pulang, membuka pintu kamar berasama langkah kaki lain. Seorang gadis yang juga seumuran. Gadisku mengganti bajunya, sedangkan  temannya itu duduk di atas tempat tidur sambil memainkan ponsel. Setelah itu mereka mengobrol. “Maya, kamu masih memikirkan perkataan teman-teman tadi?” tanya teman gadisku itu. “Iya Bi … aku merasa apa yang dikatakan mereka tentangku itu benar …,” jawab gadisku lemah. Mereka mengobrol tentang gadisku; Maya yang kembali mendapatkan bullyan di sekolah. Dan temannya yang kuketahui namanya Bianca mencoba menguatkan gadisku itu. Hanya sekali ini saja gadisku membawa teman ke rumah.

            Sore harinya, gadisku melihat ponsel agak lama daripada biasanya. Kali ini dia tidak menangis. Akan tetapi tatapan matanya terlihat nanar. Lalu ia menelpon salah satu temannya. “Halo … Bi …, aku dibuli lagi sama yang lain …,” ucap gadisku lemah. Sungguh gadisku tidak percaya diri. Setelah berbincang di telepon Bianca datang ke rumah. Mencoba menenangkan gadisku. Lagi. Seperti biasa, Bianca akan memberikan nasihatnya. Namun kali ini gadisku tampak hanya diam. Entah apa yang dipikirkannya. Nasihat yang diberikan Bianca sepertinya kali ini tidak mempan.

            Pukul delapan malam, gadisku tampak berpikir demikian lama sambil memainkan ponsel. Ia tersenyum sejenak. Lalu ia mengenakan pakaian yang tidak seperti biasanya. Pakaiannya yang terbuka menampilkan lekuk badannya. Aneh sekali tidak seperti biasanya. Bahkan gadisku kali ini juga mengenakan sepatu hak tinggi, sekitar sepuluh senti. Ia juga memakai parfum kali ini. Sangat wangi. Rambutnya dibiarkan tergerai indah. Ia pergi, mengendap-endap seperti tidak mau ketahuan. Menutup pintu dengan pelan. Tinggallah aku dengan hati yang was-was.

            Rasa percaya diri gadisku memang mengalami krisis, namun aku sangat heran kenapa dengannya malam ini. Teringat aku waktu itu umurnya delapan tahun. Tepat pada hari ulang tahunnya, gadisku mendapatkan banyak kado. Dan ucapan selamat dari teman-temannya. Ia membuka satu persatu kadonya dengan bahagia. Ayah dan ibunya pun turut memberikan kado. Sebuah boneka yang sangat besar. Hingga saat ini boneka itu masih disimpan gadisku. Aku juga ingat saat ia pertama kali mendapatkan nilai sempurna di sekolah. Ia melompat-lompat kegirangan. Setiap malam ia tambah bersemangat dalam belajar. Saat itu ia berkata “Aku Maya, anak yang pintar, cantik dan akan membanggakan mama dan papa.” Masih kuingat dengan jelas, wahai gadisku.

            Yah, semuanya berubah ketika gadisku memasuki Sekolah Menengah Atas. Ia bersekolah di tempat yang bisa dibilang elit. Saat ia tahu diterima disana, ia juga kelihatan  bahagia. Namun semuanya mulai berubah semenjak seminggu ia bersekolah. Aku hanya pengamat di dalam kamarnya, dan masih bertengger di atas dinding.

            Sudah pukul sembilan malam, gadisku itu belum juga pulang. Ibunya memang baru pulang kerja kalau jam sembilan malam. Seperti biasa ia akan mengecek keadaan anaknya ke dalam kamar. Kali ini anaknya tidak kelihatan. “Maya … kamu kemana?” tanya Ibu sambil mencari ke kamar mandi dan berbagai tempat di rumah. Ibu pun segera menelepon Ayah. “Ayah …, Maya tidak ada di rumah, dan dia tidak ada meninggalkan kabar apapun,” ucap ibu mulai panik. Setelah itu ibu duduk sebentar di atas kasur gadisku. Dan ia pun menelepon Bianca, yang biasa ke rumah. “Halo, Bi … kamu tahu dimana Maya?” tanya ibu dengan raut kecemasan. Aku melihat ekspresi ibu kecewa, yang artinya Bianca tidak tahu kemana Gadisku itu.

            Lima belas menit kemudian, Ayah pulang. “Maya hilang buk? Kemana perginya anak kita?” tanya Ayah tampak frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Aku pun turut mempertanyakan hal yang sama. Ingin aku bisa berbicara dan menanyakan secara langsung dari tadi kepada gadisku. Namun aku hanyalah detik-detik yang hadir dalam hidupnya dan belum berpindah dari kamarnya. Akhirnya Ayah dan Ibu memutuskan menelepon polisi. Akan tetapi laporannya bisa diproses jika yang hilang tersebut sudah 24 jam. Ayah dan Ibu akhirnya pergi mencari gadisku kemana saja disudut kota ini. Disebabkan juga gadisku tidak menjawab telepon.

            Tepat pukul sepuluh malam, Ayah dan Ibu kembali lagi ke rumah. Mereka hanya bisa menunggu anaknya pulang. Ayah mondar mandir sangat gelisa. Begitu pun dengan Ibu yang menangis tersedu-sedu.

            Hari semakin larut, sudah satu jam berlalu, namun Gadisku tidak kunjung pulang. Aku berdetak dalam kegelisahan yang sangat. Ibu yang sudah sedikit tenang, membuatkan Ayah secangkir teh. Ayah meminumnya dan melihat Ibu dalam diam. “Bu … apakah Maya sudah terpengaruh dengan hal-hal yang negatif?” tanya Ayah dengan serius. “Tidak mungkin yaaah …, Maya anak yang percaya diri,” sela Ibu cepat. “Ayah khawatir, kalau anak kita tidak percaya diri dan telah diracuni oleh media sosial …,” ucap Ayah.  Disaat itu Ibu hanya bisa terdiam. Ia sadar kalau setiap kali anaknya melihat Ponsel, maka ekspresinya akan berubah. Lalu ibu terpikirkan kembali untuk menelpon Bianca untuk menanyakan beberapa hal. “halo Bi … maaf tante mau bertanya, Apakah Maya mengalami masalah dalam minggu ini?” tanya Ibu langsung pada intinya. Lalu di seberang telepon sana dapat kudengar dengan jelas bahwa Bianca menjelaskan Maya dibully oleh teman-temannya, yang membuat Maya tidak percaya diri. Ibu hanya bisa terngagah mendengar penjelasan dari Bianca. Merasa bersalah juga tidak mengetahui dari Maya secara langsung.

            Pukul dua belas malam Ayah dan Ibu belum juga tidur, mereka menunggu Gadisku itu di dalam kamar. Tiba-tiba sebuah telepon masuk dari nomor yang tidak dikenal. “Halo …, Apakah benar ini orangtuanya Maya Anggraini?” tanya seseorang diseberang sana. Ibu membenarkan hal tersebut dan bertanya lebih lanjut. “Ini Ibu Maya pak… bapak tau anak saya dimana?” tanya Ibu mencoba menguatka diri. “Anak ibuk kami temukan pingsan di dekat club malam” ucap orang itu. Dunia ibu runtuh seketika, begitu pula Ayah. Pada pukul dua belas malam, gadisku merenggut nyawa. Dibunuh dengan kejam.

            Tiga hari berlalu setelah kematian anaknya, Ibu mencoba memeriksa handphone gadisku itu. Disana ternyata ada yang mengirim pesan, sudah tiga hari, photo profilnya terpampang lelaki yang sangat tampan, satu pesan terakhirnya “Jika ingin populer dan sangat cantik, datang ke tempat saya, dan jangan lupa dandan yang terbaik.” Yaah gadisku yang mengalami krisis kepercayaan diri dan terlalu berharap kepada orang lain telah datang kesana. Tanpa berpikir dua kali.

Kini tidak ada lagi seorang gadis yang menangis dan berbicara kepada bulan setiap malam. Setiap detak detikku mendadak terasa tiada arti. Detik menjadi menit, menit menjadi jam, jam menjadi hari. Aku telah menjelma menjadi jam tua yang juga telah diberi harapan palsu oleh manusia. Terngiang saat itu gadisku yang berumur duabelas tahun berucap “Aku akan tumbuh baik seiring berjalannya waktu.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rendahnya Minat Anak Muda Terhadap Sastra: Tantangan dan Peluang

Di tengah gemerlap teknologi dan arus informasi yang tak terbatas, minat anak muda terhadap sastra telah menurun secara signifikan dalam beb...