Lelaki Ombrophobia --- 1--- Kehidupan yang Klise



"Terkadang aku berpikir untuk menjadi transparan saja. Tidak terlihat. Nyaman dengan duniaku sendiri. Hening tanpa hingar bingar. Biarpun membosankan, namun itulah aku."


Tidak banyak orang yang memilih berjalan di lorong, namun aku suka. Badanku terasa agak letih, setelah hampir tiga jam bermain basket.

Lorongnya sudah menemui akhir, yang mana aku tinggal jalan sedikit menuju halte dan akan sampai ke rumah. Cuaca yang cerah dan berawan. Membuat suasana hatiku ceria. Aku teringat pesanan Ibu untuk membelikannya martabak manis. Jalanan sangat ramai, dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk berlalu lalang. Entah itu orang yang pulang bekerja, pedagang, bahkan anak jalanan.

Aku segera menuju tukang martabak langgananku. Martabak Mang Amin. Rasanya yang pas, dan harganya yang menurutku terjangkau. Martabak yang aku beli mungkin di pinggiran. Tapi jangan salah, soal rasa boleh diadu dengan yang ada di restoran mewah. Aku sering dikasih bonus, begitulah kalau kita sudah lama kenal dengan orang.

Setelah membeli dua bungkus martabak manis, aku pun pulang ke rumah. Sengaja ku beli dua, karena satunya lagi akan kuberikan kepada seseorang. Sebelum melewati gang kecil untuk menuju rumah, ada pos satpam yang dihuni oleh Pak Yusuf. Martabak yang satunya ini untuknya. 

Nampak Pak Yusuf sedang tertidur, dengan satu radio usang -- memutar lagu-lagu jadul disampingnya. Pulas sekali. Tidak ingin membangunkan Pak Yusuf, aku putuskan untuk menaruh martabaknya di atas meja. Aku kurang paham mengapa orang bisa tertidur pulas dengan mendengarkan lagu atau musik. Pak Yusuf sepertinya kecapaian. Itu alasan yang tepat dan masuk akal.

Seperti biasa setiap aku pulang, terlihat Ibu sedang memberi pupuk dan menyiram bunga-bunga kesayangannya yang berjejer di depan teras rumahku. Berbagai macam bunga, dari bunga mawar, poeny, hingga bunga melati. Ibuku pecinta bunga, pernah sekali ia membeli bunga yang harganya menurutku mahal, yaitu bunga Monstera Obliqua. Aku juga kurang mengerti dengan bunga-bungaan, tetapi Ibu sangat khatam sekali dengan berbagai macam jenis bunga.

Sadar akan kedatanganku, ibu menoleh dan tersenyum. Senyuman teduh nan menenangkan.

"Rian, sudah pulang anak Ibu ...," sambut Ibu tersenyum, lalu ia menyudahi kegiatannya. Aku mencium tangan Ibu — hal biasa yang aku lakukan jika ingin pergi dan pulang ke rumah. 

Ibuku sudah tidak muda lagi. Namun sehari-hari Ibu tetap bersemangat, membuat kue-kue pada pagi hari lalu dititipkan di warung. Hasilnya tidak sebeberapa. Setidaknya cukup untuk kami berdua.

Aku juga kerapkali membantu Ibu untuk menjual kue-kuenya. Salah satunya dengan mempromosikannya di media sosial. Walaupun pengikut dan temanku di media sosial tidak banyak, namun aku orang yang percaya rezeki itu memang sudah ada yang mengatur. Aku hanya perlu berusaha dan memaksimalkan diri saja. Biasanya satu hari setelah ku post di media sosial. Ada yang meminta orderan.

Rumahku ukurannya tidak besar. Hanya sederhana dan memiliki dua kamar. Satu kamar Ibu, dan satunya lagi kamarku. Mencium kepulanganku, kucing yang kuberi nama Mondy mengampiri sambil mengeong. Meminta makan. Mondy bewarna putih dan bercampur abu-abu. Kucing kampung yang aku selamatkan satu tahun yang lalu. Awalnya Ibu melarang aku memelihara kucing, katanya akan bikin repot. Namun aku berhasil meyakinkan Ibu dan merawat Mondy .

Mondy berjenis kelamin jantan. Dulu ia aku temukan di depan rumah, dalam keadaan basah kuyup. Badannya juga kurus seperti tidak makan-makan selama beberapa hari. Aku tidak tega melihatnya. Cara satu-satunya agar dia tidak mati adalah dengan merawatnya. Sekarang Mondy badannya besar dan bulunya juga bagus. Tapi dia sekarang suka sekali bermain ke rumah tetangga. Yah tetanggaku Bu Beti memiliki kucing betina yang cantik. Barangkali Mondy sedang berjuang untuk mendapatkannya.

Bu Beti tetanggaku itu sering melapor kalau si Mondy suka main ke rumahnya. Sekedar goleran saja dan terkadang juga suka mencari perhatian di depan kucingnya Bu Beti.

Bu Beti tidak mempermasalahkan, karena Mondy tidak nakal dan tidak suka juga mencuri makanan. Aku merasa berhasil mendidik Mondy. Sudah seperti adikku saja.
"Yan ..., ayo dimakan dulu martabaknya, kalau Ibu sendirian ngga bakalan habis ini," ucap Ibu sambil mempersiapkan mertabak dan teh manis di atas meja makan. Menyadarkan lamunanku yang sedang menggendong Mondy.

"Iya bu, aku mau ganti baju dulu," jawabku sembari meletakkan Mondy.
Aku segera menuju ke kamarku. Mengganti baju, dan membersihkan badan. Aku melihat wajahku di kaca. Tersenyum sejenak. Aku telah melawati hari ini dengan baik.

Memperhatikan wajahku yang lumayan tampan. Kulit kuning langsat, hidung mancung, dan mata yang tajam. Walaupun fisikku bisa dibilang hampir sempurna, namun aku tidak percaya diri. Karena aku sendiri tahu kekuranganku dimana.

Kekurangan. Memang setiap orang mempunyai kekurangan. Tidak ada manusia yang sempurna.

Aku keluar dari kamar dengan mengenakan kaos putih polos dan celana training. Rambutku masih agak sedikit basah karena habis mandi. Perutku terasa lapar memang. Setelah Olahraga yang menguras banyak tenaga.

Aku dan Ibu menikmati martabak manis dengan lahap. Sesekali Ibu menanyakan bagaimana kuliahku, yang akan ku jawab sekenanya. Kuliah jurusan Akuntansi membuat kepalaku pusing. Tugas-tugas yang diberikan oleh dosen juga tak tanggung-tanggung. Olahraga salah satu caraku untuk mengembalikan mood. Rumahku terbilang dekat dengan kampus dan aku selalu berolahraga di lapangan basket yang ada di sana.

"Yan, kamu yakin ngga mau berobat?" tanya Ibu tiba-tiba.

"Mau bu ..., tetapi tidak dalam waktu dekat ini. Aku merasa aku baik-baik saja," jawabku sekenanya dan tidak berani menatap manik mata Ibu.

"Ya sudah, Ibu tidak mau memaksakan," ucap Ibu sambil membereskan piring tempat martabak tadi, dan membawanya ke belakang untuk di cuci. 

Aku melihat ibu menghela nafas. Aku sudah paham betul jika ibu begitu. Ia sedang menahan air matanya. Hal sama yang kerapkali aku lakukan jika sedang kesal ataupun sedih. Menurun dari Ibu.

Sudah lama Ibu tidak menyinggung hal ini. Dari terakhir kali aku kejang-kejang hingga pingsan. Betapa paniknya Ibu waktu itu. Tangisnya tidak berhenti sampai aku sadarkan diri. 

Ibu memang se-khawatir itu. Hanya aku yang dimilikinya sekarang. 

Menjadi anak satu-satunya tidaklah mudah. Orang lain mungkin akan berfikir aku akan mendapatkan segala hal yang ku mau. Namun itu sama sekali tidak benar. Hidup berdua saja dengan Ibu membuatku menjadi lelaki yang Plegmatis.

Semasa sekolah boleh dikatakan aku anak yang tidak berulah. Tidak nakal. Sewaktu SMA ada juga teman-temanku yang tawuran. 

Hal-hal yang tidak aku sukai, salah satunya kekerasan. Aku bukan cemen. Boleh diadu jika ingin satu lawan satu. Hanya saja aku tidak ingin menggunakan ilmu beladiri untuk hal yang salah. Apalagi untuk melukai orang lain. 

Aku lebih menghargai orang-orang yang menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Penuh perhitungan dan bijaksana.
Malam harinya aku keluar rumah sekedar mencari angin. Sebelumnya aku izin dulu kepada Ibu. Suatu kebiasaanku lagi jika ingin pergi. Tujuannya supaya Ibu tidak perlu khawatir. Berjalan di antara gang kecil. Kota metropolitan. Jarak antara satu rumah ke rumah lainnya sangat dekat.

Banyak anak-anak yang bermain kembang api. Beberapa diantaranya menyapaku dan melanjutkan bermain. Malam yang tidak terlalu gelap. Ada bulan dan bintang yang menghiasi langit.

Tempat tujuanku adalah pos satpam, ke tempat Pak Yusuf. Ia sedang merokok dan meminum kopinya, terlihat kebulan asap rokoknya kentara sekali dengan pencahayaan pos satpam yang agak remang-remang. Suasana hati Pak Yusuf sepertinya sedang baik kali ini. Segera aku menuju kesana. Memilih duduk di sebelahnya.

Pak Yusuf melihatku dengan tersenyum, menampakkan deretan giginya yang telah menguning karena telah lama merokok dan kerutan di sekitar matanya yang sangat kentara. Setelah menyesap kopinya Pak Yusuf membuka pembicaraan.

"Rian yang tadi ngasih Bapak martabak ya?"

"Iya pak, tadi Bapak tidurnya pulas, saya tidak tega membangunkan Bapak," ucapku.

"Terima kasih banyak yah, jarang sekali ada anak muda sebaik kamu."

"Ah Bapak melebih-lebihkan."

"Hahaha, memang kenyataannya yan. Kalau nanti kamu sudah berpasangan, perempuan akan beruntung sekali mendapatkan kamu."

"Tidak tahu Pak. Belum nemu, dan saya tidak yakin. Perempuan selain Ibu saya pasti merepotkan Pak ...."

"Pasti akan bertemu, kamu ganteng begini kok. Bakalan banyak yang naksir, perempuan itu tidak merepotkan yan," ucap Pak Yusuf meyakinkanku dan menepuk pundakku memberi semangat.

Persis seperti guru yang yakin muridnya pasti bisa.

Jika teman-teman sebayaku sudah memiliki pacar, maka aku adalah pengecualian. 

Bahkan jika aku lihat sekarang anak-anak Sekolah Dasar pun sudah berani pacaran. Membuatku geleng-geleng kepala tidak mengerti. Bukannya iri, hanya saja aku belum mengerti apa itu cinta.

Aku sendiri masih mencari makna dari cinta. Terlihat bodoh memang. Untuk persoalan yang satu ini.

Aku banyak menonton film seperti yang lainnya. Ending yang rata-rata di sebuah film romantis adalah bahagia. Contohnya saja pemeran utamanya menikah, lalu selesai begitu saja. Pertanyaan yang ada di dalam otakku adalah, benarkah pernikahan adalah sebuah akhir?. Toh setelah menikah akan ada juga permasalahan-permasalahan baru.

Mungkin saja ending sebenarnya tidak akan sama dengan yang difilm.

"Kamu orang yang baik sekali yan, suatu saat Bapak akan balas jasa kamu."

"Jangan begitu pak, saya sepenuhnya Ikhlas pak."

Pak Yusuf tampak terharu, matanya yang berkaca-kaca dan melanjutkan kembali menyeruput kopinya. Pak Yusuf penggila kopi. Selalu ada cerita-cerita dari Pak Yusuf yang membuatku lebih menghargai hidup. Walaupun ia hanya seorang satpam komplek. Namun soal pengalaman hidup, ia tidak akan kalah.

Pak Yusuf telah menganggap aku sebagai anaknya sendiri.

Obroloan kami selalu berlangsung seru. Pak Yusuf mengingatkanku untuk segera Pulang. Sembari matanya menatap langit. Bulan dan bintang yang tadi bersinar, pelan-pelan dilingkupi oleh awan gelap.

Pertanda buruk buatku dan Pak Yusuf paham akan itu. Aku segera beranjak dari tempat duduk. Berlari sekencang yang aku bisa. Mengumpat di dalam hati. Sialan.

***

So, ini cerita pertama dari aku. Alurnya memang lambat. Semoga kalian suka. Si Tokoh utama kita bayangin aja menurut imajinasi kalian masing-masing yaaahh..


Kira-kira Rian itu kenapa sih?


Ada yang penasaran dengan Chapter selanjutnya?


_ Renai _


Instagram: renyputeri_


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menurunkan Ekspektasi

Sapa Kembali Pada Bulan

Clay dan Surat Dari Eduardo - Part 1