Lelaki Ombrophobia ---4--- Tertarik

 

"Kehidupanku yang biasanya membosankan, kini mulai ada variasi baru. Sebuah warna merah muda. Apakah ini yang namanya tertarik?"


Nampaknya Farah kembali diantarkan ke kampus oleh pengawalnya. Kali ini dengan mobil mewah yang berbeda, kutaksir harganya sekitar 1,5 Miliar. Seperti biasa Farah memakai Hoodie bewarna merah muda. Tetapi kali ini warnanya tidak terlalu pekat, lebih pada merah muda yang terkesan lembut. Ah, ada yang berbeda kali ini, dia memakai kacamata Chanel yang harganya mungkin cukup untuk makanku dengan Ibu serta kucingku selama satu tahun. Aku tahu merek-merek barang mahal, namun tidak punya kemampuan membelinya.

Aku memandang Farah tidak jauh dari area parkir. Menyadari aku melihatnya, dia melambaikan tangan dan tersenyum. Apakah kita telah seakrab itu? Ku enyahkan pikiranku dan membalas lambaian tangannya dengan tersenyum. 

Untung saja kedua pengawal galaknya itu sudah pergi. Kalau tidak pasti aku akan kembali mendapatkan pelototan. Farah berjalan ke arahku dengan semangat. Mempercepat langkahnya yang kecil-kecil itu.

"Selamat pagi lelaki anti hujan," ucapnya sambil membuka kacamata dan memindahkannya ke atas kepala.

"Pagi juga gadis merah muda dan ... aneh."

"Waw, ini masih pagi yan, aku tidak mau merusak moodku," decaknya santai, namun setelahnya terlihat kesal. Sebuah hiburan tersendiri bagiku.

"Oke ...."

Kami melanjutkan melangkah menuju kelas. Aku mempersilahkan dia berjalan terlebih dalulu, takut tertinggal dengan langkahku yang besar-besar. Dia menurut saja, tampak mulai terbiasa dengan perbedaan langkah kami.

Tidak sedikit juga yang menyapanya, namun Farah hanya membalas dengan tersenyum. Lalu aku? Seperti biasa juga, tidak ada yang peduli denganku. Jangankan menyapa, dilirik saja aku jarang.

Sesampainya di kelas, Farah kembali memilih duduk di bangku paling belakang. Sedangkan aku selalu memilih duduk di bangku paling depan.

"Tidak ingin pindah tempat duduk?" tawar Farah kepadaku. Aku menoleh ke arahnya.

"Tidak, aku tidak suka duduk dibelakang, berisik."

"Yaah, padahal aku ada penawaran menarik"

"Penawaran? Seperti?"

"Mendapatkan nomor whatssApku," ucapnya, kemudian tertawa. Entah apa yang lucu aku tidak mengerti. Dia perempuan yang benar-benar aneh, bisa-bisanya menawarkan nomor whatsAppnya dengan mudah.

"Ngomomg-ngomong martabak kemarin enak," tambahnya mengacungkan kedua jempol.

"Tentu saja, Martabak Mang Amin yang terbaik." Dia menganggukkan kepalanya tanda setuju. Aku kembali menghadap ke arah depan membuka salah satu buku dan membacanya. Namun tiba-tiba saja seseorang duduk tepat di sampingku. Ternyata itu Farah. Lah, kenapa dia tiba-tiba pindah tempat duduk? Aku jadi bingung sendiri dengan pemikirannya. Susah ditebak.

***

Setelah kelas selasai, Farah mendapatkan telpon dari seseorang yang aku tidak tahu siapa, namun cukup membuatku tertarik, karena mimik wajah Farah ketika berbicara kelihatan panik. Ia menyudahi pembicaraannya setelah sekitar sepuluh menit. Wajahnya terlihat agak pucat. Aku menjadi khawatir, dan memberanikan diri untuk bertanya.

"Kenapa Far?"

"Musuh lama Ayahku sedang mengintai, sepertinya dia berhasil melumpuhkan dua orang pengawalku," ucap Farah panik.

"Lalu bagaimana sekarang? Maksudku, kamu mau kemana?"

"Mencari tempat persembunyian mungkin? Yah, benar sepertinya aku harus bersembunyi."

"Mau bersembunyi dimana? Kamu kan belum terlalu mengenal keseluruhan dari kota ini."

"Kamu benar ..., tunggu, bagaimana kalau kerumahmu?"

"Sembunyi di rumahku? Apa tidak salah?"

"Kumohon ..., karena aku tidak tahu lagi harus kemana, sampai dikabari kembali oleh Ayahku apabila keadaan sudah aman," lirihnya.

"Baiklah, tapi jangan merengek lagi ketika berjalan. Kita akan melewati lorong yang kemarin, dan gang-gang sempit. Sengaja ku katakana sekarang, agar kamu nanti tidak terlalu merepotkan."

Farah benar-benar menuruti perkataanku, ketika kami kembali melewati lorong yang biasa ku lewati. Aku membiarkan dia berjalan terlebih dahulu. Setelah keluar dari lorong, kami melewati halte, sekelebat bayangan pertemuan pertama kali kami terlintas di kepalaku. Aku hanya khawatir, kali ini akan hujan lagi, seperti waktu itu.

Wajah Farah tampak memerah karena matahari yang agak terik. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk beristirahat sebentar di halte, dan membelikannya susu dingin, rasa vanilla. Aku ingat waktu membeli martabak, dia suka ini. 

Dia sangat berterimakasih kepadaku, dan meneguk langsung minumannya hingga tandas, lalu aku sendiri meminum air putih biasa.

Farah benar-benar meminta nomor handphone ku, katanya untuk berjaga-jaga kalau dia sampai hilang atau bagaimana, akhirnya aku berikan. Toh, nanti aku takut disalahkan jika sampai gadis aneh ini hilang di jalan. Lagian bertukar nomor handphone tidak ada salahnya.

Kami melanjutkan berjalan setelah melepas penat, kali ini kami berjalan berdampingan, aku terpaksa mengalah memperlambat langkahku. Agar langkahku dan Farah tetap sama. Beberapa belokan dari halte, dan melewati gang-gang sempit menuju rumah.

Kami melewati pos satpam, yang mana disana nampak Pak Yusuf sedang memakan gorengannya dengan lahap. Pak Yusuf melihatku agak lain, mungkin karena kehadiran Farah. Lantas aku hanya tersenyum saja dan aku sadar, kali ini aku tidak membeli martabak. Khusunya martabak untuk Pak Yusuf.

"Permisi pak ...," ucap Farah kepada Pak Yusuf, sedangkan Pak Yusuf membalasnya dengan gagu, setelah itu melirikku dan memberi kode, seakan-akan menyuruhku untuk menjelaskannya. Aku hanya menganggukkan kepalaku kepada Pak Yusuf. Farah melihatku dengan aneh, dan berkata "Jadi, rumahmu dimana?" Nampak Pak Yusuf semakin heran, dan semakin menaik-naikkan alisnya ke arahku. Aku memberi kode balik kepada Pak Yusuf bahwa nanti akan kujelaskan, namun kali ini agak ditekankan. "Kalian kenapa sih? Main kode-kodean?" Kode-kodeanku dengan Pak Yusuf terhenti dan aku memutuskan kembali berjalan ke rumah. Lagian Pak Yusuf kepo sekali dengan Farah.

Aku kira Farah akan risih berjalan di dalam gang-gang yang sempit, ternyata aku salah, Farah tampak menikmatinya. Dia disapa beberapa anak-anak kecil yang sering bermain kelereng di gang itu, dan membalasnya dengan ramah. Ini mungkin pengalaman pertamaku berjalan degan lawan jenis, di gang menuju rumahku. Apa kata Ibuku nanti?

Seperti biasa Ibu sedang merawat bunga-bunga kesayangannya. Sadar ada yang datang, Ibu melihat ke arahku dan kemudian ke arah Farah sebentar. Ibu juga memberikan kode kepadaku, meminta penjelasan. Ah, kenapa semua orang pada main kode-kodean begini?. Namun terlambat sudah waktuku menjelaskan, karena si gadis merah muda itu terlebih dahulu menyapa.

"Permisi tante, kenalin aku Farah, teman kuliahnya Rian."

"Ooh, temannya toh, ayo masuk dulu," ucap Ibu tersenyum jahil sambil melirikku.

"Iya tante, makasih ...."

Kami bertiga pun masuk ke dalam rumah, Nampak Farah yang memperhatikan rumahku. Kira-kira apa yang dipikirkannya tentang rumahku?. "Rumah kamu nyaman banget," ucapnya sambil tersenyum tulus. "Terimakasi, anggap aja seperti rumah sendiri, jangan sungkan-sungkan. Ini pertama kalinya Rian membawa teman wanita ke sini," ucap Ibu datang membawakan teh untuk Farah.

Setelah aku berganti pakaian, aku kembali ke ruang tamu. Ibu sepertinya senang bercerita dengan Farah, mereka berdua tampak cepat sekali akrab. Farah melirikku, dan tersenyum geli ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi tidak jadi, sepertinya Ibu bercerita hal-hal memalukan tentangku.

Tidak lama kemudian, Mondy, kucingku datang dari arah luar. Berjalan dengan santai ke arah Farah, dan mengendus-endus minta dibelai. Emang dasar Mondy kegatelan. Farah tampak senang dengan kucing, ia menggendongnya lalu Mondy dieleus-elus. "Kamu memelihara kucing juga," ucap Farah terkekeh. "Iya, hanya kucing kampung." 

Farah tampak senang bermain dengan Mondy. Ibuku lalu melirikku dengan tatapan jenaka lalu kembali mereka berbicara, pembicaraan yang aku sendiri kurang paham, mulai dari Ibu yang bercerita jika dia senang membuat kue, hingga bunga-bunga apa saja yang ingin belum Ibu miliki. Aku hanya menjadi penonton, sambil sesekali melihat Farah ketika ia tertawa. Lucu juga.

Ibu tidak ada bedanya dengan Pak Yusuf yang kepo terhadap Farah, mulai Ibu menanyakan bagaimana pertemuannya denganku sampai bagaimana aku kalau dikelas. Farah menceritakannya dengan antusias, menceritakan jika aku bertemu dengannya ketika sedang hujan, dan meringkuk ketakutan di sudut halte. 

Tampak ekspresi Ibu yang berubah seketika, dan melihatku dengan tatapan sendu. 

"Berarti kamu sudah tahu kalau Rian itu phobia sama hujan?" pertanyaan Ibu membuat Farah sedikit gugup. "Iya tante, taunya belum lama ini." Farah kemudian melihat ke arahku. Tampak bersalah telah menceritakan pertemuan pertama kami. Pasalnya Ibu tampak sedih setelah mengetahui aku yang kepanikan dan sampai meringkuk di sudut halte. 

Barangkali memori lama masih terngiang-ngiang oleh Ibu, ketika aku waktu itu pingsan dan kejang-kejang saking takutnya dengan hujan. Namun setelahnya, Ibu kembali menetralkan ekspresinya dan mengubah topik pembicaraan mengenai barang-barang yang sedang tren dengan Farah. Yah, itu lebih baik.

Tidak terasa hingga tiga jam lamanya Ibu mengobrol dengan Farah, si Mondy tertidur di pangkuan Farah, dan aku yang memainkan game sampai bosan. Tiba-tiba Farah mendapatkan telpon lagi, barangkali dari Ayahnya. Benar saja, Farah berkata bahwa keadaannya sudah kembali aman dan anak buah Ayahnya akan menjemputnya.

Masalahnya mobil tidak akan mampu lewat gang-gang sempit. Jadi, kuputuskan untuk mengantarkan Farah sampai ke halte. Untung saja musuhku, hujan, tidak muncul kali ini. Kalau tidak, gadis merah muda ini tidak akan bisa pulang.

To be Continued ....


Holla, Apa kabar nih reader Lelaki Ombrophobia?


Jam berapa kamu baca ini?


Ada yang mau ditanyain tentang tokoh kita?


silahkan...


Rian  -------


Farah ------


salam cinta dari author


--Renai--


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menurunkan Ekspektasi

Sapa Kembali Pada Bulan

Clay dan Surat Dari Eduardo - Part 1