Lelaki Ombrophobia --- 2--- Gadis Aneh


Tidak ada yang bisa menghindari sebuah pertemuan, sekalipun dalam keadaan yang paling kita benci


Semalam itu hampir saja … membuatku sedikit  frustasi. Untung ada Pak Yusuf. Kalau tidak, aku sendiri ragu bagaimana nasibku. Sebuah situasi tubuh yang tidak bisa ku kontrol dengan baik.

Hari ini aku kembali pergi bermain basket, datang lebih awal daripada teman-temanku. Mereka mengatakan akan datang hari ini, namun sudah hampir sepuluh menit aku menunggu, mereka belum juga datang. Menunggu itu memang benar-ben
ar membosankan.

Kuputuskan untuk bermain sendiri. Setelah salah satu dari mereka – Dio, mengabarkan bahwa tidak jadi datang bermain hari ini. Aku hanya bisa menghela nafas.

Berbagai gaya shooting basket aku lakukan, mulai dari Jum Shoot, Three point shoot, Free thow dan lay-up shoot. Beberapa kali aku dapat memasukkan bola dengan tepat. Suatu kepuasan tersendiri bagiku.

 Pihak kampus memang mengizinkan kami untuk memakai peralatan olahraga, asalkan bertanggung jawab. Aku salah satu yang dipercaya untuk keluar masuk ruangan mengambil peralatan olahraga. Khususnya bola basket.

Setelah agak lelah, aku berhenti sebentar. Keringat mengucur di sekitar kening dan pelipisku. Aku berbaring di tengah lapangan dengan nafasku yang terengah-engah. Melihat langit dan awan. Tidak sadar aku tertidur sebentar, dan ternyata langit yang tadi cerah kini berubah mendung. Artinya sebentar lagi akan hujan, dan itu bencana besar.

Aku lari tergopoh-gopoh menghindari rintik-rintik yang paling kubenci. Ingin segera tiba di rumah, masuk ke kamar, lalu bersembunyi di balik selimut hangatku. Tapi terlambat sudah. Rintik ini terlanjur membasahi baju olahragaku yang bewarna biru muda. Entah kenapa hari ini aku lupa membawa payung. Biasanya aku selalu membawa benda penting itu kemana-mana. Panik, aku panik sekali. Walaupun ini sudah dekat menuju rumah, tetapi hujannya sangat lebat. Masalahnya adalah aku mengidap Ombophobia.

Hujan semakin lebat, dan nafasku pun semakin sesak. Sedikit lega karena untung saja sudah dekat menuju halte. Lumayan untuk bertedu, walaupun itu tak mengurangi rasa sesakku. Tiba di sana, aku menuju ke arah sudut halte yang menurutku aman.

 “Hai, kamu kenapa?” tiba-tiba saja seorang gadis yang memakai hoodie bewarna merah muda menyapaku, kelihatannya dia orang yang ceria, dan suka hujan. Terlihat dari ekspresinya. Tersenyum saat menyentuh rintik-rintik jahannam itu.

Aku berada di sudut sambil memegang kedua lutut, menoleh gugup tanpa menjawab pertanyaannya. Dia melihatku dengan tatapan khawatir, mungkin baru pertama kali melihat pria tinggi nan atletis sepertiku meringkuk ketakutan.

 “Hallooo, kamu bisu atau kita bicara lewat Whatsapp aja nih?” dia bertanya lagi sambil tertawa, entah apa yang lucu, yang jelas aku sedang merapalkan ayat-ayat di dalam hati agar hujan segera berhenti.

“Ya udah kalau kamu ga mau ngomong” ucapnya sambil tersenyum, beriringan dengan deras hujan yang semakin lebat.

Pikiranku campur aduk, lututku gemetar dengan hebat. Aku tidak memperdulikan sekelilingku lagi.

Lima belas menit kemudian sumber penderitaanku itu mulai hilang. Ya, hujannya sudah benar-benar berhenti tepatnya pukul lima sore. Gadis merah muda itu tak kulihat lagi, mungkin karena aku yang menunduk dan memeluk lutut selama lima belas menit di sudut halte, sehingga tak sadar kalau ia telah pergi. Kukira perginya gadis merah muda itu mungkin disaat hujan tadi. Kakiku pegal, karena ditekuk lama.

Halte yang tadinya lengang, sepi sekarang mulai ramai setelah hujan reda. Ada bapak-bapak dengan kemeja kotak-kotak sedang membaca Koran Tempo di salah satu bangku halte, dan  ibu-ibu yang pulang dari pabrik, terlihat dari seragam yang dikenakannya.

Kulanjutkan berjalan menuju rumah, melewati gang-gang sempit yang hanya bisa dilalui kendaraan bermotor seperti biasanya. Jarak rumahku tidak jauh dari halte, tapi cukup membuat kakiku lelah, mungkin karena terlalu lama menekuk lutut ketika di halte. Di lingkungan rumahku tidak ada yang tahu kalau aku seorang Ombrophobia kecuali Ibu dan Pak Yusuf. Mereka lebih tepatnya tidak peduli. Hidup di kota Metropolitan memang begitu, yang mana rasa empati dan kepedulian kurang. Yang mereka pedulikan hanya bagaimana mencari uang, membangun bisnis besar, dan kalau sudah berkumpul ibu-ibu komplek akan bergosip ria sampai lupa waktu, yang digosipkan anak orang lain, anak mereka sendiri seakan mereka buta. Yah begitulah dunia ibu-ibu di komplek rumahku.

Ibu sudah di depan pintu menungguku dengan wajah gusar yang sangat kentara, “kamu gapapa kan, kenapa ga bawa payung? aku disuguhi pertanyaan yang sarat akan kekhawatiran.

“Gapapa kok bu, payungnya lupa aku bawa,” jawabku pendek, aku memang tipe orang yang tidak mau membuat ibu tambah khawatir dengan apa yang aku alami.

            “Tetap aja Ibu khawatir sama kamu.”

            “Iya bu, aku paham.”

            “Yan, kamu ngga bisa seperti terus nak, mau sampai kapan yan?”

            “aku sendiri tidak tahu sampai kapan bu.”

            Ibu mengela nafas. Lagi. Aku lalu masuk ke kamar, dan terdiam sejenak. Teringat gadis yang menyapaku di halte tadi. Hoodie merah mudanya, caranya tertawa dan … matanya yang berbinar saat meyentuh rintik hujan. Sangat bertolak belakang denganku dan sedikit membuatku penasaran. Yang aku sesalkan mengapa aku bertemu dengannya dalam situasi yang sangat kubenci, yaitu hujan.

            Malam harinya aku tidak bisa tidur, terlalu banyak pertanyaan di dalam benakku. Apakah gadis itu menyangka aku adalah laki-laki yang aneh? Ah bukankah aku memang aneh. Pikiran-pikiran liar berseliweran di kepalaku.

Ku dengar Ibu dari dalam kamar sedang menuangkan air ke dalam gelas, barangkali itu teh. Aku putuskan untuk keluar kamar.

“Eh belum tidur yan?” Tanya ibu setelah menyesap tehnya.

“Belum,” jawabku pendek, lalu ikut menuang teh ke dalam cangkir untuk ku minum.

“Kira-kira kapan ya … teman perempuanmu main ke sini,”

Uhuk uhuk,” aku hampir saja tersedak saat menyesap tehku.

“Pelan-pelan minumnya nak …,” ucap Ibu tertawa geli.

“Ya, nanti kapan-kapan Rian kenalkan,” ucapku percaya diri. Padahal punya teman perempuan saja aku tidak. Boleh dikatakan tidak ada yang mau dekat denganku.

“Nah, begitu dong. Andai aja Ayah ….”

“Ibu cukup, jangan dilanjutkan” potongku cepat. Pembicaraan yang paling aku hindarkan.

Kami berdua hening cukup lama, sampai akhirnya aku putuskan untuk kembali ke kamar. Menghempaskan tubuhku dengan keras. Memilih untuk tidur. Lebih tepatnya memaksakan untuk tidur, walaupun mimpi-mimpi jahannam itu tidak pernah absen.

 

***

            Kembali ku lewati halte seperti biasa, saat menuju ke kampus. Melirik ke sekeliling, barangkali gadis dengan Hoodie merah muda itu ada di sana. Aku cukup heran dengan diriku sendiri, baru sekarang aku antusias melihat seseorang.

            Ya sudahlah, mungkin dia tidak akan ke sini lagi. Ucapku di dalam hati. Kembali kulanjutkan perjalanan menuju kampus, berjalan melewati lorong lagi. Sendirian. Orang-orang mungkin berfikir ini menyeramkan, namun menurutku tidak

.           Hari yang masih pagi, namun dapat ku lihat aktivitas di kota telah ramai. Aku telah tiba diujung lorong. Menghirup nafas lega dan sedikit lagi berjalan akan tiba di gedung kampus.

            “Hai, bertemu lagi,” ucap seseorang.

Aku melihat ke arah sumber suara. Dia berada di samping kiriku dengan jarak yang lumayan jauh.

            “h – hai,” ucapku gagap. Cukup kaget dengan kehadirannya. Orang yang aku cari-cari di halte muncul disini. Hoodie merah muda lagi. Apa dia tidak memiliki pakaian lain? pikirku.

            “jangan salah, aku punya selusin Hoodie dengan warna yang sama,” ucapnya sambil menaikkan satu alis, terlihat jengkel.

            “Kamu membaca pikiranku?”

            “Tidak, itulah yang orang-orang pikirkan dan katakan tentangku jika sudah bertemu lebih dari sekali.”

            “ooh”

            “Hanya ooh?” ucapnya terlihat … kesal.

            “iya, hanya itu. Mau apa lagi?”

            “Tidak ada,” jawabnya sambil mencebikkan bibir. Terlihat kesal dan segera berlalu menuju mobil hitam di tepi jalan. Ada dua orang pria berbadan besar yang menunggunya berbanding terbalik dengannya yang berbadan mungil. Namun salah satu pria itu membukakanya pintu dan menunduk hormat. Salah satunya lagi melototiku. Hei, memangnya apa salahku.

Gadis merah muda itu menurunkan kaca mobilnya dan melihat ke arahku kemudian dia berbicara dengan tidak mengeluarkan suara. Masih bisa kutanggap apa yang dia katakan. “sampai jumpa pria aneh,” ucapnya seperti orang bisu, lalu mengedipkan sebelah mata. Aku hanya terdiam sampai mobilnya melaju ke arah kampus yang sama denganku. Ada banyak pertanyaan di dalam otakku yang kunikmati sembari terus berjalan menuju kampus.

Sesampainya di kampus, benar saja mobil yang dinaiki gadis merah muda itu terlihat berada di tempat parkir utama kampus. Mewah daripada yang lain. Nampak gadis merah muda itu tengah mengusir kedua pria yang tadi mengawalnya. Aku juga tidak tahu bagaimana, namun terlihat jika ia tidak suka jika diikuti oleh keduanya. Tidak sengaja sudut matanya bertemu denganku. Dan apa ini?, dia berjalan terburu-buru ke arahku.

“Kalian tidak usah khawatir, disini aku sudah punya teman,” ucapnya sambil menggandeng tanganku.

“Tapi, non …, nanti Tuan Besar akan memarahi kami jika non kenapa-kenapa,” ucap pria yang tadi memelototiku.

“Aku bukan temannya,” ucapku kepada pria itu, aku takut hidupku yang akan kenapa-kenapa. Tatapan pria itu semakin tajam melihatku, membuatku menelan ludah.

“Pak Samson …, udah deh percaya sama aku.”

“Baik non, tapi kalau ada apa-apa jangan lupa segera telpon saya.”

“Iyaa …,” ucap gadis merah muda itu sampil menghembuskan nafasnya kasar.

Kedua pengawalnya itu sudah pergi, dengan cepat dia melepaskan tangannya yang tadi menggandeng tanganku. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan. Barangkali kekesalannya belum reda.

            “Tadi itu apa?”

            “jangan kepedean,” jawabnya.

            “Tidak, aku bukan orang yang percaya diri”

            “Terlihat,” ucapnya pendek. Lalu berjalan beberapa langkah. “Terimakasih. Aku Farah, baru pindah ke kota ini,” tambahnya. Aku hanya  terdiam. Kegugupanku datang lagi.

            “Tidak ingin menyebutkan nama?” tanyanya.

            “Aku Rian,” ucapku cepat.

            “Baik, sampai bertemu lagi Rian.”

Ia melanjutkan berjalan dengan langkahnya yang kecil-kecil dan aku ikuti dari belakang. Tanpa disadarinya. Aku cukup heran, dia menuju kelas yang sama dengan yang kutuju.

Saat ia masuk, terlihat teman-temanku yang lain menghentikan aktivitas mereka sejenak dan perhatian mereka tertuju kepada Farah. Mereka melongo. Farah memilih duduk di bangku paling belakang dan memasang penutup kepala hoodienya dengan santai, mengeluarkan handphone dan memainkannya tanpa menghiraukan tatapan teman-teman yang lain. Beberapa teman-temanku berbisik dan memandang Farah dengan tatapan kagum dan sebagian lagi menatapnya dengan tatapan malas. Aku jadi bingung sendiri. Situasi macam apa ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menurunkan Ekspektasi

Sapa Kembali Pada Bulan

Clay dan Surat Dari Eduardo - Part 1