Lelaki Ombrophobia ---3--- Dia Farah Misella Queen

 

"Aku pikir aku saja yang paling aneh di dunia, ternyata dia juga. Dan itu melegakan, bukankah dua orang aneh akan saling memahami satu sama lain?"




------

"Tahu ngga sih? Dia itu anak seorang miliarder. Kaya banget pasti."


"Eh, eh miliarder sih iyaa, tapi Bapaknya itu mantan mafia guys."

"Ngeri tau, temenan sama dia! Denger denger dia sebelumnya tinggal di Amerika ya?"

"Iya,, mungkin aja dia habis bikin masalah, makanya pulang ke sini."

"Nah, bisa jadi tuh. Dari wajahnya terlihat sih, dia anak yang bermasalah."

"Kalian ngga lihat tadi dia perginya sama siapa? Sama pengawal cuii, bayangin aja, hidupnya terkekang gitu."

Berbagai isu tentang Farah menyebar, aku sempat mendengar teman-temanku yang perempuan sedang membicarakannya sebelum kelas dimulai.Farah tampak tidak peduli dengan semua itu. Aku pun muak mendengar mereka. Pantas saja saat Farah baru masuk ke kelas semuanya melongo. Melihat Farah dengan berbagai tatapan.

Semuanya kembali diam ketika Bu Diana masuk. Bu Diana melirik Farah sejenak dan menyuruhnya memperkenalkan diri di depan kelas. Semua orang menunggu, apalagi para buaya di kelasku.

"Hi, aku Farah Misella Queen, baru pindah kesini dua hari yang lalu, mohon kerjasamanya. Terimakasih." Sungguh perkenalan yang singkat dan datar.... Dia tidak tampak antusias sama sekali.

"Yah, terimakasih Farah." Bu Diana kembali mempersilahkan Farah untuk kembali ke bangkunya. Dan proses pembelajaran pun dimulai.

Dia teramat santai, dan fokus memperhatikan penjelasan dosen. Aku yang jadinya tidak fokus, malah memikirkan Farah. Farah melirikku sebentar, sementara mata kami bertemu, dia menggerakkan dagunya, mengisyaratkan untukku melihat ke depan. Aku pun menurut. Tidak lagi melihatnya, walaupun masih banyak tersimpan pertanyaan di dalam otakku. Nanti akan kutanyakan.

Setelah kelas usai, dan teman-temanku yang lain sudah bubar. Kali ini memang hanya ada dua mata kuliah dan kebetulannya lagi pada jam kedua dosennya tidak masuk.

Kulihat Farah masih duduk di kursi belakang. Melipat kedua tangannya dan menghembuskan nafas pelan. Aku masukkan buku-bukuku ke dalam tas, dan melangkah mendekatinya.

"Kamu baik-baik aja?" tanyaku.

"Kelihatannya bagaimana?"

"Hmm, aku tidak tahu. Apa kamu terganggu dengan mereka?"

"Sama sekali tidak! Persetan dengan apapun yang orang lain kataku!"

"Kalau begitu kamu kenapa?"

"Aku tidak mau dikawal terus-menerus, itu membuatku jengkel"

Aku tidak lagi bertanya, takut dia tambah jengkel. Walaupun sebenarnya ingin. Apakah benar dia anak mantan seorang mafia? Dan milarder? Oh beruntung sekali jadi dia. Tampilannya yang benar-benar anggun, walaupun tidak terlalu feminim. Memakai sepatu yang aku tahu itu harganya jutaan. Sungguh ... waw, aku benar-benar tidak menyangka. Hanya satu yang tidak waw mungkin, dia menyukai hujan.

Farah kemudian beranjak dari duduknya dan menatapku sejenak. Membuatku gugup saja. Barangkali kembali membaca pikiranku, ternyata tidak.

"Kamu tidak lapar?" dia bertanya dengan datar. Ooh, dia lapar ternyata. "Bisa tunjukkan kantin di dekat sini?" tambahnya. Aku paham Farah tidak terlalu mengenal kampus ini. Tapi aku sendiri jarang makan di kantin. Disana terdapat deretan anak-anak popular. Bukannya takut dengan mereka, aku lebih baik membeli martabak Mang Amin saja. Makanan disini terlalu elit untuk lidahku yang memang kampungan.

"Yaa, tapiiii aku hampir tidak pernah makan disana." Ekspresi Farah tampak heran, lalu kembali datar lagi. "Ooh,, well baiklah. Terlihat dan ku maklumi," ucapnya menahan tawa.

Aku dan Farah sama-sama melangkah keluar kelas, banyak orang-orang yang menatap kami berdua. Sebenarnya aku risih, karena tidak terbiasa, namun aku lihat Farah seakan tidak peduli itu. Bagaimana tidak, aku yang biasanya tidak menjadi pusat perhatian sekarang berbeda, karena berjalan bersama yang katanya anak miliarder, plus tambahannya mantan mafia.

"Kalau begitu dimana biasanya kamu makan?" tanya Farah.

"Setiap pulang biasanya aku membeli martabak."

"Di restoran?"

"Tidak, di pinggir jalan."

"Kalau begitu aku ikut"

"Hmm, aku tidak yakin kamu akan suka"

"Jangan salah, waktu kecil aku juga sering makan martabak pinggiran"

Kami melanjutkan berjalan, hingga aku terpikirkan sesuatu dan menghentikan langkahku. "Bagaimana dengan pengasuhmu? Eh maksudku pengawalmu." Langkah Farah juga berhenti dan ia memutar bola matanya dengan malas.

"Kamu mengejekku? Aku tidak peduli. Itu urusan gampang, yang penting kita beli martabak dulu."

"hahaha, Oke ." Hanya saja aku takut, nanti pulang hanya tinggal nama. Aku terbayang pelototan mata salah satu pengawalnya, memancarkan aura permusuhan terhadapku.

***

Karena aku yang terbiasa jalan kaki pulang pergi ke kampus, mau tidak mau Farah juga terpaksa mengikutiku, sambil sesekali ia mengeluhkan kakinya yang lelah. Terlihat manjanya. Dia juga mengeluhkan kepanasan. Lagian siapa suruh dia memakai Hoodie yang berbahan tebal, padahal sudah tahu Indonesia panas. Benar-benar aneh. Eh ngomong-ngomong panas benar-benar baik untukku, sangat tidak apa-apa.

Seperti biasa, aku memakai jalan pintas, yaitu berjalan di lorong. Langkah Farah yang kecil-kecil kerapkali tertinggal. Akhirnya aku berhenti sebentar dan menunggunya hingga kami sejajar kembali.

"Kenapa kamu jalan disini sih Rian?" Farah memperhatikan sekeliling, dan bergidik sendiri. Terlihat takut.

"Karena aku suka berjalan disini, suasananya tenang."

"Kalau lorongnya angker bagaimana?"

"Yaah, biasanya hantunya tidak menggangguku. Tetapi ku dengar dia suka gadis yang manja dan aneh sepertimu," ucapku menahan tawa. Ku usahakan nada bicaraku terlihat meyakinkan. Dan benar saja, Farah langsung mendekat ke arahku sambil memperhatikan sekeliling.

"Rian, bisa jalannya pelan-pelan sedikit? Nanti aku tertinggal ..."

Bilang saja kalau kamu takut. Oh Tuhan, aku benar-benar tidak bisa menahan tawaku lagi, apalagi setelah melihat ekspresinya yang kian kemelut. Aku benar-benar menurutinya untuk mensejajarkan langkah. Hingga kami sampai di ujung lorong.

Jalanan terlihat ramai, dan banyak yang mengantri untuk membeli martanbak Mang Amin. Aku kasihan juga melihat Farah kelelahan mengikutiku. Dan akhirnya kami membeli minum terlebih dahulu sebelum mengantri untuk membeli martabak. Aku membeli air putih saja, sedangkan Farah membeli susu dingin, rasa vanilla.

"Woaah akhirnyaa ...," ucapnya setelah meminum susu vanilla dinginnya. Wajahnya tampak kemerahan akibat panas. Aku hanya meneguk air putihku dari botol.

"Apa salahnya sih kalau turun hujan, kan enak, tidak panas," ucapnya spontan.

"Lebih baik tidak!!"

"Ih, kenapa? Seru tahu kalau sedang hujan!"

"Sama sekali tidak"

"Aku menyukainya,"

"aku tahu dan aku membencinya"

Farah menatapku agak lama. "Dasar aneh," sahutnya lalu tertawa. Ketahuilah kamu juga gadis yang aneh, ucapku dalam hati.

"Dimana-mana itu orang suka hujan, oh tunggu ...." Dia sepertinya menyadari sesuatu. "kamu takut hujan? itu makanya waktu itu di halte --". "Iya, jangan diteruskan," ucapku lalu berjalan menuju martabak Mang Amin. Farah mengikutiku dari belakang. Tidak ada lagi yang antri.

"Eh Rian, bawa siapa ini?" tanya Mang Amin menatapku jenaka. Karena mungkin aku hanya membeli martabaknya selalu sendirian.

"Teman," ucapku pendek.

"Tadi saja ketika dipelototi pengawalku bilangnya bukan teman, sekarang sudah teman saja," desis Farah yang masih bisa ku dengar dengan jelas.

"Ooh teman toh, mau toping rasa apa yan?" tanya Mang Amin

"Kamu mau rasa apa?" tanyaku pada Farah

"Coklat, kacang, susu"

"Oke, Pak topingnya Coklat, kacang, dan susu untuk teman saya, dan dua lagi seperti biasa. Coklat saja."

Sembari menunggu martabak, Farah tampak gelisah menatap layar hpnya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Disuruh pulang sama Ayah"

"Ooh"

"iyaa, sebentar lagi sepertinya pengawalku jemput, keberadaanku bisa mereka ketahui dengan mudah," adunya.

Pesanan untuk Farah selesai, pas sekali dengan kedatangan mobil pengawalnya. Dengan tergesa-gesa Farah membayar martabaknya dengan uang seratus ribu, padahal harga martabaknya hanya limabelas ribu. Aku hanya bisa melongo. Farah tidak menerima kembalian dari Mang Amin. "Ambil buat Bapak aja," katanya.

Salah satunya turun dari mobil, dengan pakaian yang sama lengkapnya seperti tadi pagi dan ditambah kaca mata hitam, syukurlah, setidaknya pengawalnya itu tidak akan memelototiku lagi.

"Kenapa sih Pak? Sampai jemput saya kesini segala!!"

Dan ternyata aku salah, setelah Farah masuk ke dalam mobil, pengawalnya itu membuka kaca mata dan kembali memelototiku, lebih parah. Dia mengisyaratkan kedua jarinya di depan mata seakan-akan berkata dia mengawasiku.

Mang Amin hanya geleng-geleng kepala kemudian menertawaiku dengan jenaka. "Aduh Rian, teman kamu kaya banget ya ..., sampai ada pengawalnya begitu." Aku hanya tersenyum. Tidak tahu harus menjawab apa.

To be continued

________

Hai, ada yang kangen sama lelaki anti hujan?

Akuuu wkwkwk

Di tempat kalian lagi hujan apa engga nih?

Enak banget guys martabak Mang Amin the best pokoknyaa, ahhh author jadi laper sendiri...

Semoga neng Parah suka nih martabaknya, eh Farah deng



Jangan lupa vote dan komen ya guyss

with love

--Renai--

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menurunkan Ekspektasi

Sapa Kembali Pada Bulan

Clay dan Surat Dari Eduardo - Part 1